Islamisasi

Assalamualaikum,,,,,,......

Liberalisai

Assalamualaikum....,.....

Westernisasi

Assalamualaikum...,.....

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 19 Agustus 2015

Mu'amalah

Muhammad Ridwan
13913057
Jawaban A
1.      Pada saat terjadi kesepakatan addendum hanya untuk kesepakatan kembali kemampuan nasabah dalam hal angsuran, nominal margin tidak bisa dimasukan ke dalam pokok pembiayaan, dalam addendum pokok pembiayaan harus sesuai dengan akad awal, dalam ketentuan murabahah margin keuntungan yang telah disepakati di muka antara nasabah (pembeli) dan pihak bank (penjual) kemudian disatukan dengan harga pokok barang menjadi barang menjadi harga baru yang harus dibayar oleh nasabah bila sudah jatuh tempo. Dan tidak boleh ada penambahan margin keuntungan sesudah akad sehingga harganya jelas dan pasti. solusi untuk keduanya adalah: pertama, Melakukan penjadwalan ulang (rescheduling), dimana jumlah tagihan yang tersisa tetap (tidak boleh ditambah) dan perpanjangan masa permbayaran disesuaikan dengan kesepakatan kedua pihak. Kedua, Mengonversi akad murabahah, dengan cara menjual objek murabahah kepada penjual sesuai dengan nilai pasar, kemudian dari uang yang ada digunakan untuk melunasi sisa tagihan.
2.      Akad untuk pengusaha tempe tersebut adalah akad murabahah, karena pembiayaan ini digunakan untuk pengembangan usaha sedang si pengusaha tempe tersebut membutuhkan pengadaan barang berupa mesin penggiling kedelai untuk usahanya.
secara teknis akad murabahah terlaksana dengan kedatangan nasabah ke bank syariah dan mengajukan permohonan pembiayaan pembiayaan murabahah untuk pembelian barang, setelah barang dengan spesifikasinya disepakati maka terajdilah tawar menawar barang tersebut dan juga penawaran jumlah margin, setelah terjadi kesepakatan dan secara analisa masuk terjadilah akad.
3.      Produk Mudharabah, karena dalam hal ini adanya kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama dalam hal ini bank sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan pihak lain sebagai pengelola (mudharib) dengan persayaratan hasil keuntungan akan dibagi keduannya sesuai dengan nisbah / kesepakatan yang telah disepakati bersama, namun bila terjadi kerugian akan ditanggung shahibul maal. Dalam hal ini mengapa menggunakan akad mudharabah karena modal yang di berikan oleh bank 100 % sedangkan nasabah sebagai pengelola karena mempunyai skill atau keahlian.
4.      musyaraka/ syirkah inan. Karena, si pemilik toko baru memiliki modal sebagiannya sehingga pihak bank melengkapi besaran modal yang sedang dibutuhkan sehingga dinamakan pencampuran modal antara nasabah dengan bank. Oleh karenanya, syirkah lebih tepat digunakan karena penggabungan modal disini tidak harus sama jumlahnya dan keuntungan dibagi secara proporsional dengan jumlah modal masing-masing atau sesuai dengan kesepakatan.
5.      Produk yang tepat adalah produk pembiayaan dengan prinsip bagi hasil melalui akad mudharabah muqayyadah dengan menghususkan untuk modal usaha penggarapan sawah. Pendapatan yang sudah diperkirakan oleh petani menjadi suatu gambaran hasil yang akan diperoleh sehingga hal ini memungkinkan menggunakan akada mudharabah.
6.      4 permasalahan yang terdapat dalam kasus tersebut antara lain:
a.       Dalam pembuatan addendum tidak terkait dengan klausula. Karena, dalam murabahah tidak terdapat klausula sedang addendum sendiri merupakan point tambahan perpanjangan jangka waktu pembayran bagi nasabah yang mengalami kesulitan keuangan.
b.      Pihak bank membiarkan Tuan Tajir membeli barang langsung kepada supplier sehingga ia menyerahkan bukti pembayaran.
c.       Syarat dan rukun murabahah tidak terlaksana secara keseluruhan
d.      Klausula yang diberikan Tuan Tajir tertera atas nama bank.
7.      2 permasalahan dalam kasus tersebut adalah:
1.      Tidak terdapat persentase nisbah bagi hasil
2.      Tidak dijelaskan perhitungan keuntungan bagi pihak bank sebesar Rp 20 juta.
Karena, penetapan nisbah dalam akad musyarakah harus detail dijelaskan diawal secara proporsional sesuai kesepakatan. Dengan merujuk pada perkataan Ali bin Abi Thalib: “keuntungan harus sesuai dengan yang mereka tentukan, sedangkan kerugian harus proporsional dengan modal mereka”.[1]
8.      Tidak sah, dikarenakan dalam skim Murabahah fungsi Bank adalah sebagai Penjual barang untuk kepentingan Nasabah, dengan cara membeli barang yang diperlukan Nasabah dan kemudian menjualnya kembali kepada Nasabah dengan harga jual yang setara dengan harga beli ditambah keuntungan Bank dan Bank harus memberitahukan secara jujur harga pokok Barang berikut biaya yang diperluan dan menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian Barang kepada Nasabah. Namun demikian, sebagai Penyedia Barang dalam prakteknya Bank Syariah seolah-olah menjual mobil kepada nasabah yang jelas-jelas diawal sudah diketahui barang itu milik nasabah. Sehingga tidak ada transparasi dan kejujuran mengenai barang yang tersedia di penjual atau bank. Dalam kasus ini, adalah sama dengan akad bai‘ al-‘inah. Sebagaimana yang diketahui bersama bahwasanya transaksi dengan akad ini adalah terlarang.
Jawaban B
1.      Gharar merupakan ketidakjelasan pada sesuatu apakah itu bisa didapat/terjadi atau tidak. Seperti yang terjadi pada jual beli ikan dalam air atau budak yang kabur. Pada keduanya, obyek jual beli jelas namun tidak bisa dipastikan apakah bisa diserahkan kepada pembeli atau tidak, oleh karena itu akad tersebut pada akhirnya tidak jelas bisa terlaksana atau tidak. Sedangkan jahalah merupakan status sesuatu yang tidak diketahui. Contohnya pada jual beli kucing dalam karung yang tidak diketahui bagaimana wujud asli kucing tersebut, apakah itu kucing kampung, angora, persia, berusia setahun atau dua tahun, dll. Jual beli tersebut mungkin saja terlaksana, namun status objek akad yang tidak diketahui detilnya berpotensi mengakibatkan pertikaian antara kedua pihak yang berakad ketika detil objek akad tidak sesuai dengan yang diharapkan. Adapun implikasi terhadap akad bahwa ada gharar yang mempunyai implikasi terhadap akad (muatsir fil-aqd) dan gharar yang tidak berimplikasi apapun terhada akad (ghairu muatsir). Supaya gharar termasuk dalam gharar muatsir, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, di antaranya: 1) gharar yang banyak, 2) gharar terdapat pada obyek akad, 3) tidak ada hajah yang mengharuskan berinteraksi dengan gharar tersebut, dan 4) gharar terdapat pada akad-akad finansial. Sedangkan Implikasi jahalah terhadap akad dibagi menurut jenis jahalah. Jahalah dibagi menjadi tiga jenis yang masing-masing memiliki hukumnya tersendiri terkait dengan akad: jahalah berat (fahisyah), sedang (mutawassithah), dan ringan (yasirah). Pertama, Jahalah fahisyah adalah jahalah yang sudah pasti akan menyebabkan pertikaian. Jahalah jenis ini berpengaruh terhadap keabsahan akad; tidak sah akad yang mengandung jahalah jenis ini. Kedua, jahalah ringan, yaitu yang biasanya tidak sampai menimbulkan pertikaian. Jahalah jenis ini tidak mempengaruhi keabsahan akad. Ketiga, jahalah sedang, yaitu yang kadarnya berada di antara dua jenis jahalah di atas. Jenis jahalah ini masih menjadi ladang perselisihan para ulama perihal pengaruhnya terhadap keabsahan suatu akad.
2.      Hal-hal yang menyebabkan kecatatan suatu akad antara lain:
a.       Paksaan / Intimidasi (Ikrah)
Ikrah yakni memaksa pihak lain secara melanggar hukum untuk melakukan atau tidak melakukan suatu ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya dengan gertakan atau ancaman sehingga menyebabkan terhalangnya hak seseorang untuk bebas berbuat dan hilangnya kerelaan.
b.      Kekeliruan atau kesalahan (Ghalath)
Kekeliruan yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau kontrak. Kekeliruan bisa terjadi pada dua hal :
Ø  Pada zat (jenis) obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapi ternyata cincin itu terbuat dari tembaga.
Ø  Pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli baju warna ungu, tetapi ternyata warna abu-abu.
Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi pada sifatnya akad dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan.
c.       Penyamaran Harga Barang (Ghubn)
Ghubun secara bahasa artinya pengurangan. Dalam istilah ilmu fiqih, artinya tidak wujudnya keseimbangan antara obyek akad (barang) dan harganya, seperti lebih tinggi atau lebih rendah dari harga sesungguhnya.
d.      Penipuan (tadlis)
yaitu menyembunyikan cacat pada obyek akad agar tampil tidak seperti yang sebenarnya. Maka pihak yang merasa tertipu berhak fasakh. Apabila salah satu pihak tidak mempunyai informasi seperti yang dimiliki oleh pihak lain, maka salah satu pihak akan merasa dirugikan dan telah terjadi kecurangan/penipuan.[2]
e.       Penyesatan (al-Taqrir)
Menggunakan rekayasa yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan akad yang disangkanya menguntungkannya tetapi sebenarnya tidak menguntungkannya. Taqrir tidak mengakibatkan tidak sahnya akad, tetapi pihak korban dapat mengajukan fasakh.
3.      Faktor-faktor yang dapat merubah status yad amanah menjadi yad dhamanah yakni
Pertama, ta’addi. Maksud dari ta’addi adalah kesengajaan menggunakan barang yang diamanahkan seseorang kepadanya. Seperti pada akad wadi’ah, objeknya adalah barang titipan yang tidak boleh dipergunakan oleh orang yang dititipkan kepadanya. Tugasnya hanyalah menjaga barang tersebut sampai penitip mengambilnya atau sampai ada hal-hal yang bisa membatalkan akad wadiah antara kedua pihak. Menjaganya merupakan amanah, dengan begitu menggunakan barang titipan akan menjadikan orang yang dititipkan barang kepadanya bertanggung jawab atas barang tersebut. Di sanalah kemudian yad amanah berubah menjadi yad dhamanah, di mana muncul tanggung jawab baginya untuk mengganti barang titipan tersebut jika terjadi kerusakan.
Kedua, taqshir. Maksudnya adalah keteledoran ketika menjaga barang titipan. Seperti lagi dalam akad wadiah, titipan merupakan amanah yang harus dijaga dengan segenap kemampuan. Ketika seseorang yang diberikan amanah tersebut teledor dalam menjaga, maka dia bertanggung jawab atas kerusakan barang tersebut. Contoh keteledoran adalah seperti ketika orang yang dititipkan barang kepadanya biasa mengunci kotak penyimpanan barang dengan gembok yang kuat kemudian suatu hari menguncinya dengan gembok yang mudah dibobol, maka dia yang bertanggung jawab ketika kotak penyimpanan tersebut bisa dibobol maling dikarenakan gembok yang digunakannya pada saat itu.
4.      Pada hakikatnya, akad tabarru’ adalah akad melakukan kebaikan yang mengharapkan balasan dari Allah Swt semata. Itu sebabnya akad ini tidak bertujuan untuk mencari keuntungan komersil. Konsekuensi logisnya, bila akad tabarru dilakukan dengan mengambil keuntungan komersil, maka ia bukan lagi akad tabarru’ tetapi, ia akan menjadi akad tijarah. Bila ia ingin tetap menjadi akad tabarru’, maka ia tidak boleh mengambil manfaat dari akad tabarru’ tersebut. tentu saja ia tidak berkewajiban menanggung biaya yang timbul dari pelaksanaan akad tabarru’. Artinya, ia boleh meminta pengganti biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan akad tabarru’.[3]
Begitu akad tabarru’ sudah disepakati, maka akad tersebut tidak boleh diubah menjadi akad tijarah kecuali ada kesepakatan dari kedua belah pihak untuk mengikatkan diri dalam akad tijarah tersebut. misalkan bank setuju untuk menerima titipan mobil dari nasabahnya, maka bank tersebut dalam perjalanan kontrak tersebut tidak boleh mengubah akad tersebut menjadi akad tijarah dengan mengambil keuntungan dari jada wadi’ah tersebut. karena akad tabarru’ disini merupakan akad dalam memindahkan kepemilikan harta/ dana seseorang kepada orang lain, melalui cara hibah/derma/shadaqah.
5.      Kontruksi hukum akad Tijarah (compensational contracket) meliputi natural uncertainity contract (NUC) maupun Natural centainity contract (NCC)
Akad tijarah adalah akad yang ditujukan untuk mencari keuntungan komersil. Dalam akad tijarah, setiap pihak memberikan sesuatu kepada pihak lain untuk mendapatkan ganti dan keuntungan dari pemberiannya itu. Contoh akad tijarah adalah akad jual beli, sewa, dan investasi.Kemudian, berdasatkan tingkat pengembalian/perolehan keuntungan/timbal baliknya, akad tijarah terbagi menjadi dua: Natural Certainty Contract (NUC) dan Natural Uncertainty Contract (NCC).
Pertama, Natural Certainty Contract (NCC). NCC adalah akad yang biasanya menawarkan kepastian return. Dalam NCC, setiap pihak yang berakad sama-sama saling memberi dan menerima barang, oleh karena itu return sudah pasti didapat. Contoh NCC ada pada akad jual beli dan sewa. Dalam jual beli, penjual memberikan barang yang dijualnya kepada pembeli dan pembeli memberikan uang kepada penjual. Jadinya setiap penjual dan pembeli memberi dan mendapat barang yang pasti.
Kedua, Natural Uncertainty Contract (NUC). NUC adalah akad yang tidak selalu memberikan kepastian return kepada masing-masing pihak yang bersepakat. Dalam NUC, pihak-pihak yang bertransaksi terkadang mencampurkan asetnya menjadi satu kesatuan untuk dikelola dan selanjutnya keuntungan yang akan diperoleh dan kerugian yang mungkin diderita akan ditanggung bersama. Oleh karena itu, return dalam NUC tidak bisa dipastikan pada awal akad karena keuntungan dipengaruhi oleh usaha yang akan dilakukan kemudian. Contoh NUC ada pada akad musyarakah, muzara’ah, musaqah dan mukhabarah. Pada musyarakah, sebagai contoh, ada dua pihak yang saling bekerja sama mengelola toko dengan modal bersama dengan perbandingan penyertaan modal 40:60. Di awal akad, keduanya tidak bisa menentukan besaran nominal tertentu yang berhak mereka terima karena tidak ada kepastian berapa keuntungan yang akan mereka dapat nantinya. Bisa saja keuntungan akan besar, namun juga bisa terjadi kerugian. Jika masing-masing pihak sudah menetapkan nominal tertentu yang akan dia dapat, maka hal itu berpotensi menimbulkan kerugian salah satu pihak. Hal yang bisa mereka berdua lakukan adalah dengan menentukan keuntungan berdasarkan nisbah, bukan nominal tertentu.
6.      Kontruksi hukum investasi mudhorabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah on balance sheet dan muqayyadah off balance sheet
Dalam pelaksanaan mudharabah, penyimpan atau pendeposito bertindak sebagai shahib al-maal dan bank sebagai mudharib. Dana tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan mudharabah atau bank bisa menyalurkan dana tersebut kepada pihak ketiga (perusahaan). Hasil usaha ini akan dibagikan berdasarkan nisbah yang disepakati. Apabila bank menggunakannya untuk melakukan pembiayaan mudharabah, maka bank bertanggung jawab atas kerugian yang berlaku.
Pada perkembangan selanjutnya, terdapat dua bentuk mudharabah muqayyadah di bank syariah, yaitu yang on balance-sheet dan yang of balance-sheet. Dalam mudharabah muqayyadah on balance-sheet, aliran dana terjadi dari satu nasabah investor ke kelompok pelaksana usaha dalam beberapa sektor terbatas, misalnya pertanian, manufaktur dan jasa. Skema ini disebut on balance sheet karena dicatat dalam neraca bank. Sedangkan dalam mudharabah muqayyadah off balance sheet, aliran dana berasal dari satu nasabah investor kepada satu pembiayaan. Di sini bank syariah bertindak sebagai arranger saja. Pencatatan transaksinya di bank syariah dilakukan secara off balance sheet. Sedangkan bagi hasilnya hanya melibatkan nasabah investor dan pelaksana usaha saja, bank hanya memperoleh fee dalam posisinya sebagai arranger. Skema ini disebut off balance sheet karena transaksi yang tidak tercatat dalam neraca bank, melainkan dalam rekening administratif saja.
7.      Hukum-hukum tiga kategori produk yang ditawarkan berdasarkan tujuan penggunaannya antara lain:
1.      Pembiayaan dengan prinsip jual-beli
2.      Pembiayaan dengan prinsip sewa
3.      Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil
Pembiayaan dengan prinsip jual beli ditujukan untuk memiliki barang, sedangkan yang menggunakan prinsip sewa ditujukan untuk mendapatkan jasa. Prinsip bagi hasil digunakan untuk usaha kerja sama yang ditujukan guna mendapatkan barang dan jasa sekaigus. Pada kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk kedalam kelompok ini adalah produk yang menggunakan prinsip jual beli seperti murabahah, salam dan istisna serta produk yang menggunakan prinsip sewa, yaitu ijarah dan IMBT. Sedangkan pada kategori ketiga, tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati di muka. Produk perbankan yang masuk kedalam kelompok ini adalah musyarakah dan mudharabah.[4]





[1] Siti Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2011), hlm.150
[2]Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami-Edisi Ketiga, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.200
[3] Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm.66
[4] Ibid,. hlm.97-98

Sabtu, 15 Agustus 2015

Qada’ Dan Qadar

Tuduhan yang mengatakan, beriman dengan qada’ dan qadar Allah itu membawa kepada sikap bertawakkal yang mendorong kepada malas dan penyegan juga merupakan tuduhan yang tidak berasas dan tidak benar sama sekali. Sesungguhnya beriman kepada qada’ dan qadar sebagaimana yang dibawa oleh agama-agama langit itu adalah diwajibkan ke atas orang-orang Mu’min supaya mereka beriman kepada aqibah dan natijah sesuatu peristiwa,bukannya beriman kepada sebab-sebab peristiwa itu. Orang-orang beriman dituntut dan diwajibkan berusaha melaksanakan menyerahkan natijahnya kepada Allah, Pentadbir alam semesta Yang Maha Esa dan Maha Agung.

Jumat, 14 Agustus 2015

Biografi


Muhammad Ridwan

Assalamualaikum sahabat blogspot yang dirahmati Allah. Dalam kesempatan ini saya ingin mengajak saudara - saudara seiman  untuk selalu memawas diri......
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com