Muhammad Ridwan
13913057
Jawaban A
1. Pada saat terjadi kesepakatan addendum hanya untuk
kesepakatan kembali kemampuan nasabah dalam hal angsuran, nominal margin tidak
bisa dimasukan ke dalam pokok pembiayaan, dalam addendum pokok pembiayaan harus
sesuai dengan akad awal, dalam ketentuan murabahah margin keuntungan yang telah
disepakati di muka antara nasabah (pembeli) dan pihak bank (penjual) kemudian
disatukan dengan harga pokok barang menjadi barang menjadi harga baru yang
harus dibayar oleh nasabah bila sudah jatuh tempo. Dan tidak boleh ada penambahan
margin keuntungan sesudah akad sehingga harganya jelas dan pasti. solusi untuk
keduanya adalah: pertama, Melakukan penjadwalan ulang (rescheduling),
dimana jumlah tagihan yang tersisa tetap (tidak boleh ditambah) dan
perpanjangan masa permbayaran disesuaikan dengan kesepakatan kedua pihak. Kedua,
Mengonversi akad murabahah, dengan cara menjual objek murabahah kepada penjual
sesuai dengan nilai pasar, kemudian dari uang yang ada digunakan untuk melunasi
sisa tagihan.
2.
Akad untuk
pengusaha tempe tersebut adalah akad murabahah, karena pembiayaan ini
digunakan untuk pengembangan usaha sedang si pengusaha tempe tersebut
membutuhkan pengadaan barang berupa mesin penggiling kedelai untuk usahanya.
secara
teknis akad murabahah terlaksana dengan kedatangan nasabah ke bank syariah dan
mengajukan permohonan pembiayaan pembiayaan murabahah untuk pembelian barang,
setelah barang dengan spesifikasinya disepakati maka terajdilah tawar menawar
barang tersebut dan juga penawaran jumlah margin, setelah terjadi kesepakatan dan
secara analisa masuk terjadilah akad.
3.
Produk Mudharabah, karena dalam hal ini adanya
kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama dalam hal ini bank sebagai shahibul
maal (pemilik modal) dan pihak lain sebagai pengelola (mudharib) dengan
persayaratan hasil keuntungan akan dibagi keduannya sesuai dengan nisbah /
kesepakatan yang telah disepakati bersama, namun bila terjadi kerugian akan
ditanggung shahibul maal. Dalam hal ini mengapa menggunakan akad mudharabah
karena modal yang di berikan oleh bank 100 % sedangkan nasabah sebagai
pengelola karena mempunyai skill atau keahlian.
4.
musyaraka/
syirkah inan. Karena, si pemilik toko baru memiliki
modal sebagiannya sehingga pihak bank melengkapi besaran modal yang sedang
dibutuhkan sehingga dinamakan pencampuran modal antara nasabah dengan bank.
Oleh karenanya, syirkah lebih tepat digunakan karena penggabungan modal disini
tidak harus sama jumlahnya dan keuntungan dibagi secara proporsional dengan
jumlah modal masing-masing atau sesuai dengan kesepakatan.
5.
Produk yang
tepat adalah produk pembiayaan dengan prinsip bagi hasil melalui akad
mudharabah muqayyadah dengan menghususkan untuk modal usaha penggarapan sawah.
Pendapatan yang sudah diperkirakan oleh petani menjadi suatu gambaran hasil
yang akan diperoleh sehingga hal ini memungkinkan menggunakan akada mudharabah.
6.
4
permasalahan yang terdapat dalam kasus tersebut antara lain:
a.
Dalam
pembuatan addendum tidak terkait dengan klausula. Karena, dalam murabahah tidak
terdapat klausula sedang addendum sendiri merupakan point tambahan perpanjangan
jangka waktu pembayran bagi nasabah yang mengalami kesulitan keuangan.
b.
Pihak bank
membiarkan Tuan Tajir membeli barang langsung kepada supplier sehingga ia
menyerahkan bukti pembayaran.
c.
Syarat dan
rukun murabahah tidak terlaksana secara keseluruhan
d.
Klausula yang
diberikan Tuan Tajir tertera atas nama bank.
7.
2
permasalahan dalam kasus tersebut adalah:
1.
Tidak
terdapat persentase nisbah bagi hasil
2.
Tidak
dijelaskan perhitungan keuntungan bagi pihak bank sebesar Rp 20 juta.
Karena,
penetapan nisbah dalam akad musyarakah harus detail dijelaskan diawal secara
proporsional sesuai kesepakatan. Dengan merujuk pada perkataan Ali bin Abi
Thalib: “keuntungan harus sesuai dengan yang mereka tentukan, sedangkan
kerugian harus proporsional dengan modal mereka”.[1]
8.
Tidak sah, dikarenakan dalam skim Murabahah fungsi
Bank adalah sebagai Penjual barang untuk kepentingan Nasabah, dengan cara
membeli barang yang diperlukan Nasabah dan kemudian menjualnya kembali kepada
Nasabah dengan harga jual yang setara dengan harga beli ditambah keuntungan
Bank dan Bank harus memberitahukan secara jujur harga pokok Barang berikut
biaya yang diperluan dan menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian
Barang kepada Nasabah. Namun demikian, sebagai Penyedia Barang dalam prakteknya
Bank Syariah seolah-olah menjual mobil kepada nasabah yang jelas-jelas diawal
sudah diketahui barang itu milik nasabah. Sehingga tidak ada transparasi dan
kejujuran mengenai barang yang tersedia di penjual atau bank. Dalam kasus ini,
adalah sama dengan akad bai‘ al-‘inah. Sebagaimana yang diketahui bersama
bahwasanya transaksi dengan akad ini adalah terlarang.
Jawaban B
1. Gharar merupakan
ketidakjelasan pada sesuatu apakah itu bisa didapat/terjadi atau tidak. Seperti
yang terjadi pada jual beli ikan dalam air atau budak yang kabur. Pada
keduanya, obyek jual beli jelas namun tidak bisa dipastikan apakah bisa
diserahkan kepada pembeli atau tidak, oleh karena itu akad tersebut pada
akhirnya tidak jelas bisa terlaksana atau tidak. Sedangkan jahalah merupakan
status sesuatu yang tidak diketahui. Contohnya pada jual beli kucing dalam
karung yang tidak diketahui bagaimana wujud asli kucing tersebut, apakah itu
kucing kampung, angora, persia, berusia setahun atau dua tahun, dll. Jual beli
tersebut mungkin saja terlaksana, namun status objek akad yang tidak diketahui
detilnya berpotensi mengakibatkan pertikaian antara kedua pihak yang berakad
ketika detil objek akad tidak sesuai dengan yang diharapkan. Adapun implikasi
terhadap akad bahwa ada gharar yang mempunyai implikasi terhadap akad (muatsir
fil-aqd) dan gharar yang tidak berimplikasi apapun terhada akad (ghairu
muatsir). Supaya gharar termasuk dalam gharar muatsir, ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi, di antaranya: 1) gharar yang banyak, 2) gharar terdapat pada
obyek akad, 3) tidak ada hajah yang mengharuskan berinteraksi dengan
gharar tersebut, dan 4) gharar terdapat pada akad-akad finansial. Sedangkan
Implikasi jahalah terhadap akad dibagi menurut jenis jahalah. Jahalah dibagi menjadi
tiga jenis yang masing-masing memiliki hukumnya tersendiri terkait dengan akad:
jahalah berat (fahisyah), sedang (mutawassithah), dan ringan (yasirah). Pertama,
Jahalah fahisyah adalah jahalah yang sudah pasti akan menyebabkan pertikaian.
Jahalah jenis ini berpengaruh terhadap keabsahan akad; tidak sah akad yang
mengandung jahalah jenis ini. Kedua, jahalah ringan, yaitu yang biasanya
tidak sampai menimbulkan pertikaian. Jahalah jenis ini tidak mempengaruhi
keabsahan akad. Ketiga, jahalah sedang, yaitu yang kadarnya berada di
antara dua jenis jahalah di atas. Jenis jahalah ini masih menjadi ladang
perselisihan para ulama perihal pengaruhnya terhadap keabsahan suatu akad.
2.
Hal-hal yang
menyebabkan kecatatan suatu akad antara lain:
a.
Paksaan /
Intimidasi (Ikrah)
Ikrah yakni memaksa pihak lain secara
melanggar hukum untuk melakukan atau tidak melakukan suatu ucapan atau
perbuatan yang tidak disukainya dengan gertakan atau ancaman sehingga
menyebabkan terhalangnya hak seseorang untuk bebas berbuat dan hilangnya
kerelaan.
b.
Kekeliruan
atau kesalahan (Ghalath)
Kekeliruan yang dimaksud adalah kekeliruan
pada obyek akad atau kontrak. Kekeliruan bisa terjadi pada dua hal :
Ø Pada zat (jenis) obyek, seperti orang membeli
cincin emas tetapi ternyata cincin itu terbuat dari tembaga.
Ø Pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli
baju warna ungu, tetapi ternyata warna abu-abu.
Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu
dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi pada
sifatnya akad dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak
memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan.
c.
Penyamaran
Harga Barang (Ghubn)
Ghubun secara bahasa artinya pengurangan.
Dalam istilah ilmu fiqih, artinya tidak wujudnya keseimbangan antara obyek akad
(barang) dan harganya, seperti lebih tinggi atau lebih rendah dari harga
sesungguhnya.
d.
Penipuan
(tadlis)
yaitu menyembunyikan cacat pada obyek akad
agar tampil tidak seperti yang sebenarnya. Maka pihak yang merasa tertipu
berhak fasakh. Apabila salah satu pihak tidak mempunyai informasi seperti yang
dimiliki oleh pihak lain, maka salah satu pihak akan merasa dirugikan dan telah
terjadi kecurangan/penipuan.[2]
e.
Penyesatan
(al-Taqrir)
Menggunakan rekayasa yang dapat mendorong
seseorang untuk melakukan akad yang disangkanya menguntungkannya tetapi
sebenarnya tidak menguntungkannya. Taqrir tidak mengakibatkan tidak sahnya
akad, tetapi pihak korban dapat mengajukan fasakh.
3. Faktor-faktor yang
dapat merubah status yad amanah menjadi yad dhamanah yakni
Pertama, ta’addi. Maksud dari ta’addi adalah
kesengajaan menggunakan barang yang diamanahkan seseorang kepadanya. Seperti
pada akad wadi’ah, objeknya adalah barang titipan yang tidak boleh dipergunakan
oleh orang yang dititipkan kepadanya. Tugasnya hanyalah menjaga barang tersebut
sampai penitip mengambilnya atau sampai ada hal-hal yang bisa membatalkan akad
wadiah antara kedua pihak. Menjaganya merupakan amanah, dengan begitu
menggunakan barang titipan akan menjadikan orang yang dititipkan barang
kepadanya bertanggung jawab atas barang tersebut. Di sanalah kemudian yad
amanah berubah menjadi yad dhamanah, di mana muncul tanggung jawab baginya
untuk mengganti barang titipan tersebut jika terjadi kerusakan.
Kedua, taqshir. Maksudnya adalah keteledoran ketika
menjaga barang titipan. Seperti lagi dalam akad wadiah, titipan merupakan
amanah yang harus dijaga dengan segenap kemampuan. Ketika seseorang yang
diberikan amanah tersebut teledor dalam menjaga, maka dia bertanggung jawab
atas kerusakan barang tersebut. Contoh keteledoran adalah seperti ketika orang
yang dititipkan barang kepadanya biasa mengunci kotak penyimpanan barang dengan
gembok yang kuat kemudian suatu hari menguncinya dengan gembok yang mudah
dibobol, maka dia yang bertanggung jawab ketika kotak penyimpanan tersebut bisa
dibobol maling dikarenakan gembok yang digunakannya pada saat itu.
4.
Pada
hakikatnya, akad tabarru’ adalah akad melakukan kebaikan yang mengharapkan
balasan dari Allah Swt semata. Itu sebabnya akad ini tidak bertujuan untuk
mencari keuntungan komersil. Konsekuensi logisnya, bila akad tabarru dilakukan
dengan mengambil keuntungan komersil, maka ia bukan lagi akad tabarru’ tetapi,
ia akan menjadi akad tijarah. Bila ia ingin tetap menjadi akad tabarru’, maka
ia tidak boleh mengambil manfaat dari akad tabarru’ tersebut. tentu saja ia
tidak berkewajiban menanggung biaya yang timbul dari pelaksanaan akad tabarru’.
Artinya, ia boleh meminta pengganti biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan
akad tabarru’.[3]
Begitu
akad tabarru’ sudah disepakati, maka akad tersebut tidak boleh diubah menjadi
akad tijarah kecuali ada kesepakatan dari kedua belah pihak untuk mengikatkan
diri dalam akad tijarah tersebut. misalkan bank setuju untuk menerima titipan
mobil dari nasabahnya, maka bank tersebut dalam perjalanan kontrak tersebut
tidak boleh mengubah akad tersebut menjadi akad tijarah dengan mengambil
keuntungan dari jada wadi’ah tersebut. karena akad tabarru’ disini merupakan
akad dalam memindahkan kepemilikan harta/ dana seseorang kepada orang lain,
melalui cara hibah/derma/shadaqah.
5.
Kontruksi
hukum akad Tijarah (compensational contracket) meliputi natural uncertainity
contract (NUC) maupun Natural centainity contract (NCC)
Akad tijarah adalah akad yang ditujukan untuk mencari keuntungan
komersil. Dalam akad tijarah, setiap pihak memberikan sesuatu kepada pihak lain
untuk mendapatkan ganti dan keuntungan dari pemberiannya itu. Contoh akad
tijarah adalah akad jual beli, sewa, dan investasi.Kemudian, berdasatkan
tingkat pengembalian/perolehan keuntungan/timbal baliknya, akad tijarah terbagi
menjadi dua: Natural Certainty Contract (NUC) dan Natural Uncertainty Contract
(NCC).
Pertama,
Natural Certainty Contract (NCC). NCC adalah akad yang biasanya menawarkan
kepastian return. Dalam NCC, setiap pihak yang berakad sama-sama saling memberi
dan menerima barang, oleh karena itu return sudah pasti didapat. Contoh NCC ada
pada akad jual beli dan sewa. Dalam jual beli, penjual memberikan barang yang
dijualnya kepada pembeli dan pembeli memberikan uang kepada penjual. Jadinya setiap
penjual dan pembeli memberi dan mendapat barang yang pasti.
Kedua, Natural Uncertainty Contract (NUC). NUC
adalah akad yang tidak selalu memberikan kepastian return kepada masing-masing
pihak yang bersepakat. Dalam NUC, pihak-pihak yang bertransaksi terkadang
mencampurkan asetnya menjadi satu kesatuan untuk dikelola dan selanjutnya
keuntungan yang akan diperoleh dan kerugian yang mungkin diderita akan
ditanggung bersama. Oleh karena itu, return dalam NUC tidak bisa dipastikan
pada awal akad karena keuntungan dipengaruhi oleh usaha yang akan dilakukan
kemudian. Contoh NUC ada pada akad musyarakah, muzara’ah, musaqah dan
mukhabarah. Pada musyarakah, sebagai contoh, ada dua pihak yang saling bekerja
sama mengelola toko dengan modal bersama dengan perbandingan penyertaan modal
40:60. Di awal akad, keduanya tidak bisa menentukan besaran nominal tertentu
yang berhak mereka terima karena tidak ada kepastian berapa keuntungan yang
akan mereka dapat nantinya. Bisa saja keuntungan akan besar, namun juga bisa terjadi
kerugian. Jika masing-masing pihak sudah menetapkan nominal tertentu yang akan
dia dapat, maka hal itu berpotensi menimbulkan kerugian salah satu pihak. Hal
yang bisa mereka berdua lakukan adalah dengan menentukan keuntungan berdasarkan
nisbah, bukan nominal tertentu.
6.
Kontruksi
hukum investasi mudhorabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah on
balance sheet dan muqayyadah off balance sheet
Dalam pelaksanaan mudharabah, penyimpan atau pendeposito bertindak
sebagai shahib al-maal dan bank sebagai mudharib. Dana tersebut
digunakan bank untuk melakukan pembiayaan mudharabah atau bank bisa menyalurkan
dana tersebut kepada pihak ketiga (perusahaan). Hasil usaha ini akan dibagikan
berdasarkan nisbah yang disepakati. Apabila bank menggunakannya untuk melakukan
pembiayaan mudharabah, maka bank bertanggung jawab atas kerugian yang berlaku.
Pada perkembangan selanjutnya, terdapat
dua bentuk mudharabah muqayyadah di bank syariah, yaitu yang on balance-sheet
dan yang of balance-sheet. Dalam mudharabah muqayyadah on balance-sheet, aliran
dana terjadi dari satu nasabah investor ke kelompok pelaksana usaha dalam
beberapa sektor terbatas, misalnya pertanian, manufaktur dan jasa. Skema ini
disebut on balance sheet karena dicatat dalam neraca bank. Sedangkan dalam
mudharabah muqayyadah off balance sheet, aliran dana berasal dari satu nasabah
investor kepada satu pembiayaan. Di sini bank syariah bertindak sebagai
arranger saja. Pencatatan transaksinya di bank syariah dilakukan secara off
balance sheet. Sedangkan bagi hasilnya hanya melibatkan nasabah investor dan
pelaksana usaha saja, bank hanya memperoleh fee dalam posisinya sebagai
arranger. Skema ini disebut off balance sheet karena transaksi yang tidak
tercatat dalam neraca bank, melainkan dalam rekening administratif saja.
7.
Hukum-hukum
tiga kategori produk yang ditawarkan berdasarkan tujuan penggunaannya antara
lain:
1.
Pembiayaan
dengan prinsip jual-beli
2.
Pembiayaan
dengan prinsip sewa
3.
Pembiayaan
dengan prinsip bagi hasil
Pembiayaan dengan prinsip jual beli ditujukan untuk memiliki barang,
sedangkan yang menggunakan prinsip sewa ditujukan untuk mendapatkan jasa.
Prinsip bagi hasil digunakan untuk usaha kerja sama yang ditujukan guna
mendapatkan barang dan jasa sekaigus. Pada kategori pertama dan kedua, tingkat
keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau
jasa yang dijual. Produk yang termasuk kedalam kelompok ini adalah produk yang
menggunakan prinsip jual beli seperti murabahah, salam dan istisna serta produk
yang menggunakan prinsip sewa, yaitu ijarah dan IMBT. Sedangkan pada kategori
ketiga, tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya keuntungan usaha
sesuai dengan prinsip bagi hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan
oleh nisbah bagi hasil yang disepakati di muka. Produk perbankan yang masuk
kedalam kelompok ini adalah musyarakah dan mudharabah.[4]
[1] Siti
Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat,
2011), hlm.150
[2]Adiwarman
Karim, Ekonomi Mikro Islami-Edisi Ketiga, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007), hlm.200
[3]
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2011), hlm.66
[4] Ibid,.
hlm.97-98